Kumpulan Cerita Lucu
Naik Gaji Tanpa Kerja
Bejo, seorang direktur perusahaan dodol, suatu hari didatangi karyawannya.
Bejo : "Apa?”
Karyawan : "Saya minta naik gaji, Pak Bejo…"
Bejo : “Naik gaji? Dirimu tak bekerja
apapun disini! Coba pikir! Satu tahun ada 365 hari. Jam kerja sehari 8
jam, dan itu berarti sepertiga hari, jadi dalam setahun ada 122 hari
kerja. Kantor tutup pada hari Minggu, jadi berkurang 52 hari, tinggal 70
hari. Lalu dirimu mendapat cuti dua minggu, jadi 70 dikurangi 14 hari,
sisa 56 hari. Ada lebih dari 4 hari libur nasional dalam setahun, jadi
tinggal 52 hari. Di kantor ini Sabtu juga libur. Nah, ada 52 hari Sabtu
dalam setahun. Coba kurangi !"
Karyawan : " Nol Pak…??"
Bejo : "Dan sekarang dirimu minta kenaikan gaji..??!! padahal hari kerjamu NOL!"
Karyawan : *pingsan
***
Dokter
Seorang sahabat lama yang berprofesi sebagai DOKTER curhat pada Dony.
Dokter : “Don, aku telah langgar sumpah dokterku. Aku se.. se.. selingkuh!” akunya dengan bercucuran air mata.
Dony menghibur : “Yang penting sekarang
engkau sudah sadar. Normal pria selingkuh dengan wanita. Kan engkau
belum menikah dengan Sinta”.
Dokter : ” Tapi Don, kamu lupa ya…? Aku kan dokter hewan?”
Dony : *Gubrak…!!
***
Syarat Lulus
Seorang dosen muda didatangi oleh seorang mahasiswi yang terancam gagal ujian berbodi sexy tapi rada o'on.
" Pak…" Dia melirik ke sekitar ruangan
yang kosong, lalu menutup pintu, dan berlutut di depan sang dosen muda
sambil memohon. “Pak Dosen, Saya bersedia melakukan apapun juga agar
lulus ujian….”
"Hmmm… Apapun?" sang dosen nampak berfikir sambil menatap mahasiswinya yang sexy itu.
Sambil melirik genit, mahasiswi itu berbisik manja.
"Apapun Pak…"
"Apapun…?" sang dosen turut berbisik.
Mahasiswi sexy itu mengangguk yakin.
Akhirnya sang dosen tersenyum penuh arti dan berbisik ke telinga si mahasiswi.
Akhirnya sang dosen tersenyum penuh arti dan berbisik ke telinga si mahasiswi.
"Maukah kamu… BELAJAR!"
***
Cermin Sang Presiden
Ada seorang Presiden suatu Negara yang
sedang menderita penyakit mata. Saat ia diundang untuk mengunjungi
sebuah pameran lukisan di Negara tetangga, ia gengsi jika tidk
memberikan komentar terhadap lukisan-lukisan yang terpajang disana.
Presiden : “Wah, lukisan ini nampak nyata. Gambar Kudanya bener-bener hidup.”
Ajudan: “Sssttt… bukan Pak. Itu gambar Onta.”
Kemudian mereka berpindah ke lukisan lain.
Kemudian mereka berpindah ke lukisan lain.
Presiden: “Gambar Gajah ini benar- benar gagah.”
Ajudan: “Sssttt… jangan keras-keras Pak. Itu gambar Kuda.”
Presiden itu pun malu dan menahan diri untuk memberi komentar sampai ia tiba pada suatu pojok ruang pameran. Disana dia berseru:
Ajudan: “Sssttt… jangan keras-keras Pak. Itu gambar Kuda.”
Presiden itu pun malu dan menahan diri untuk memberi komentar sampai ia tiba pada suatu pojok ruang pameran. Disana dia berseru:
“Wah, yang ini bagus sekali! Lukisan Monyet-nya terlihat begitu nyata !”
Ajudannya langsung tertegun dan berkata:
Ajudannya langsung tertegun dan berkata:
“Sssttt….! Bapak! Itu cermin!”
***
Bujur
Ceritanya bermula pada musim penerimaan
mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Setiap
tahunnya, perguruan tinggi ini selalu mengadakan program pengenalan bagi
mahasiswa baru sebagai wahana perkenalan dengan dunia baru, baik itu
dengan senior atau lingkungan kampus tersebut.
Program ini sering disebut dengan
istilah OSPEK, yang belakangan cenderung menjadi sebuah program
penggojlokan yang seringkali lebih trlihat warna ‘ngerjain’ mahasiswa
baru, dengan instruksi-instruksi yang kadang aneh-aneh dan sulit untuk
dilakukan.
Salah seorang mahasiswa baru tersebut
adalah pendatang asal Magelang. Sebut saja namanya Tuti. Mahasiswa ini
belum pernah tinggal di luar Magelang sebelumnya, apalagi pergi ke
Bandung. Kultur Jawa yang melekat pada dirinya kental sekali. Hingga
bahasa yang dimengerti hanya bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, itupun
tidak terlalu fasih.
Maka tibalah hari pertama OSPEK bagi
seluruh mahasiswa baru di perguruan tinggi tersebut. Hari pertama bagi
seorang mahasiswa baru yang masih polos atau lugu. Setelah melalui hari
yang melelahkan dengan mendengarkan bentakan-bentakan senior yang tidak
jelas juntrungannya, juga hukuman-hukuman yang tidak jelas apa
kesalahannya, maka acara terakhir mulai masuk kepada tugas-tugas yang
harus dikerjakan di rumah dan dibawa keesokan harinya.
Seorang panitia dengan lantang
mengatakan, “Besok kalian jangan datang terlambat dan jangan lupa tugas
kalian untuk esok hari adalah membawa percak-percak kain yang sudah
tidak dipakai. Kemudian dari percak-percak kain ini, kalian harus
membuatnya menjadi sebuah tas. Dan jangan lupa tas itu harus kalian buat
sendiri. Paham!!” Kemudian mahasiswa baru secara serentak berteriak,
“Paaaaahhhhaaaammmm”.
Pulang dari kampus, Tuti langsung
mencari tempat tukang jahit di sekitar jalan menuju rumahnya. Hingga
akhirnya, ribalah ia di sebuah penerima jasa jahitan. Di tempat itu ada
seorang ibu (orang Sunda) yang sedang berkemas-kemas akan pulang.
Dengan lugu si Tuti bertanya,
“Ibu,apakah ibu memiliki bujur yang robek-robek dan sudah tidak dipakai
lagi?”, “Apa, coba ulangi pertanyaanmu?” kata si ibu. Lalu Tuti
mengulangi pertanyaannya, “Apakah ibu memiliki bujur yang robek-robek
dan sudah tidak dipakai lagi?!” Kontan saja ibu tukang jahit langsung
membelalakkan matanya, sambil berkata, “Eh kamu jangan kurang ajar,
bujur Ibu masih utuh dan tidak mungkin robek-robek dan apa masudmu
bertanya seperti itu, tidak sopan kamu!”
Si Tuti langsung terlihat gugup, sambil
ia menjelaskan, “Saya sedang mencari kain-kain itu”, sambil tangannya
menunjuk ke arah tumpukan percak-percak kain yang tampaknya sudah tidak
terpakai lagi. Ibu tersebut terbengong, sambil merasa tidak mengerti
maksud anak ini.
Setelah diberi pengertian akhirnya ibu
tadi bisa mengerti dan dengan suka rela ia memberikan tumpukan kain tadi
kepada anak itu. Dan ternyata, bahasa Jawanya percak-percak kain adalah
bujur, yang dalam bahasa Sunda berarti pantat.
***
Juragan Garam
Alkisah seorang juragan garam terkaya di
Madura ingin melihat Ibukota Jakarta di mana mantan presiden “yang
seorang kyai” tinggal. Ia memutuskan pergi ke Jakarta dengan pesawat
terbang.
Setelah tiket berada di tangan dia
langsung menuju pesawat dan duduk di kelas bisnis. Tidak lama berselang,
seorang pebisnis naik pesawat dan mendapati kursinya telah diduduki
oleh penumpang lain, maka terjadilah dialog seperti berikut:
Pebisnis : “Maaf Pak, ini tempat duduk saya.”
Madura : “Sampeyan siapa?”
Pebisnis : “Saya penumpang.”
Madura : “Lho sesama penumpang kok ser-go-ser. Itu kan masih banyak kursi yang lain.
Sampeyan dodok saja di sana.”
Karena tidak ingin terjadi keributan
maka si pebisnis menamui pramugari dan mengadukan hal tersebut. Dan
setelah mengecek tiket milik pebisnis, si pramugari menghampiri si
Madura.
Pramugari : “Maaf Pak, Bapak tidak boleh duduk di sini. Tempat Bapak di bagian lain.”
Madura : “Sampeyan siapa?”
Pramugari : “Saya pramugari.”
Madura : “Apa itu pramugari? Saya ndak tahu, apa kerjaan sampeyan.”
Pramugari : “Saya bertugas melayani Bapak.”
Madura : “Lho Sampeyan tugasnya melayani Saya kok sr-go-ser. Saya ndak mau!”
Madura : “Lho Sampeyan tugasnya melayani Saya kok sr-go-ser. Saya ndak mau!”
Karena kehabisan akal si pramugari menjumpai kapten dan mohon bantuan atas perihal tersebut. Kapten pun mendatangi si Madura.
Kapten : “Maaf, pak, tempat duduk ini milik bapak yang itu, jadi Bapak harus duduk di
tempat lain.”
Madura : “Sampeyan siapa?” (tanya si Madura kesal)
Kapten : “Saya pilot.”
Madura : “Apa itu pilot?” Apa kerja Sampeyan?”
Kapten : “Saya yang nyopir pesawat ini.”
Madura : “Saya naik bus ndak pernah di ser-go-ser sama sopir. Pokoknya saya mau duduk di
sini.”
Akhirnya semua kehabisan akal dengan
ulah si Madura. Tapi untunglah penumpang terakhir yang baru naik adalah
Mbok Bariyah.langsung saja pramugari menceritakan hal tersebut dan minta
pertolongan kepada Mbok Bariyah untuk berbicara kepada si Madura.
Pramugari : “Eh, Mbok Bariyah, selamat siang. Mbok tolong saya ya. Ada penumpang yang
bikin repot nih.”
Mbok Bariyah: “Penumpang yang mana?”
Pramugari : “Itu, Bapak yang dari Madura itu, harusnya duduk di kelas ekonomi tapi dia
terlanjur duduk di tempat Bapak ini.”
Mbok Bariyah: “Oooh, gampang itu, serahkan saja sama saya, pokoknya ditanggung beres.”
Serta merta Mbok Bariyah menghampiri Bapak Madura.
Mbok Bariyah: “He...he..he, Pak, Sampeyan mau ke mana?”
Madura : “Oh, sya mau ke Jakarta.”
Mbok Bariyah: “Lho...Sampeyan salah, Pak. Tempat duduk ini untuk tujuan Medan. Kalau ke
Jakarta tempatnya di sana, di belakang. Itu tempat Sampeyan masih kosong.”
Madura : “Oh..iya..., ini untuk yang mau ke Medan, ya. Terima kasih, ya.”
No comments:
Post a Comment